Ketika Pasukan Tartar Mejadikan Buku Para Ulama Sebagai Tempat Penyeberangan.
KETIKA pasukan Tartar (Mongolia) –yang dipimpin Hulagu Khan-
menaklukkan Baghdad (656H/1258 M), kavalerinya membuang buku-buku yang
berada di perpustakaan Bagdhad ke sungai Tigris. Buku yang berjumlah
banyak tersebut, dijadikan jembatan penyebrangan dari arah Barat ke
Timur (baca: Rāghib al-Sirjāni , Qisshatu al-Tatār min al-Bidāyah ila
`Ain Jālūt, 161-162).
Bayangkan, luas sungai Tigris yang hampir
sama dengan Nil (kedalamannya mencapai 10-11 meter) itu, dipenuhi buku
untuk dijadikan jembatan.
Anda bisa membayangkan berapa besar
jumlah buku yang ada saat itu. Ada satu kata kunci untuk memahami cerita
tersebut, yaitu: produktivitas tulisan para ulama.
Banyaknya buku yang tersimpan diperpustakaan Baghdad adalah salah satu bukti prokdutivitas ulama dalam bidang kepenulisan.
Dalam sejarah Islam, begitu banyak contoh mengenai produktivitas ulama
dalam hal menulis di antaranya: Ibnu Jarir At-Thabari, karangannya
berjumlah 358 ribu lembar, dalam sehari ia mampu menulis sebanyak 40
lembar ( dalam Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, Abdu al-Fattah Abu
Ghuddah, 43).
Imam Ibnu Jauzi meninggalkan karya sebanyak lima
ratus buku ( dalam Qimatu al-Zaman, 56). Abu Bakar al-Bāqalāni tidak
tidur hingga menulis 35 lembar (Qimatu al-Zaman, 86) dan ulama lainnya.
Itu hanya contoh kecil dari sekian banyak contoh produktivitas ulama dalam bidang tulisan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah, “Mengapa mereka bisa produktif
di zaman yang fasilitas untuk menulis begitu ala kadarnya, hanya tinta
dan kertas. Pada zaman itu, untuk menggandakan buku saja harus ditulis
ulang secara manual?”.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
berikut ini akan dijelaskan secara gambalang –melalui kaca mata historis
peradaban Islam- tentang rahasia produktivitas ulama dalam bidang
tulisan. Di antara rahasianya ialah:
Pertama, para ulama menulis
didasari keikhlasan sebagai investasi akhirat (dakwah). Dalam hadits
disebutkan, bahwa mereka adalah pewaris para Nabi (HR. Bukhari, Abu
Daud, dan Turmudzi).
Bagi mereka menulis bukan sekadar urusan
hobi, karena mereka adalah penerus estafeta perjuangan para Nabi, maka
menulis adalah urusan investasi akhirat.
Kedua, manajemen waktu
yang mantap dan brilian. Mereka sadar betul bahwa waktu adalah nafas
kehidupan. Sehingga, memanfaatkannya adalah sebuah keniscayaan bagi
orang yang ingin sukses. Sebagai contoh riil-tanpa bermaksud membatasi-,
Ibnu Jarir At-Thabari yang mampu menulis 40 lembar tulisan dalam sehari
sangat pandai dalam mengatur waktu.
Muridnya sendiri –al-Qadhi
Abi Bakar bin Kamil-memberi kesaksian bahwa beliau mempunyai waktu
khusus untuk menulis dari ba`da Dzuhur hingga Ashar (baca: Qīmatu
al-Zaman, hal. 44). Bahkan, menjelang meninggal pun ia menyempatkan diri
untuk mencatat ilmu(hal. 44).
Ibnu Rusyd –dalam sejarah- tidak
pernah meninggalkan mala-malamnya, kecuali membaca buku. Beliau selalu
begitu, kecuali dua malam saja: Pertama, waktu ayahnya wafat. Kedua,
waktu malam pengantin (baca: Kaifa Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni).
Lebih dari itu, ada cerita unik mengenai Tsa`lab al-Nahwi (Ahmad bin
Yahya al-Syaibani), di antara sebab wafatnya ialah karena ditabrak kuda
ketika membaca buku hingga jatuh ke jurang (baca: wafayātu al-A`yān,
Ibnu Khillikan, 1/104).
Kakek Ibnu Taimiyah pun juga sangat bagus
dalam manajemen waktu. Ia minta dibacakan buku ketika sedang buang
hajat, supaya waktunya tidak sia-sia (baca: Dzailu Thabaqāt
al-Hanābilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 2/249).
Cerita-cerita
tersebut, menunjukkan bahwa mereka sangan pandai mengatur waktu.
Sehingga, wajar kalau mereka sangat produktiv menulis. Bagi siapa saja
yang ingin produktiv menulis, maka tak ayal lagi harus menapaktilasi
jejak mereka dalam manajemen waktu.
Ketiga, apresiasi negara yang begitu tinggi pada penulis.
Khalifah Ma`mun –selaku Khalifah Daulah Abbasiyah-misalnya, memberi
imbalan emas bagi para penerjemah buku (baca: `Uyūnu al-Anbā`, Ibnu Abi
Ushaibah, 2/133).
Para penulis pada masa itu sangat didukung dan
dihargai oleh negara, sehingga produktivitas menulis sedemikian tinggi.
Salah satu bukti produktivitas mereka bisa dilihat dari banyaknya
perpustakaan.
Pada masa keemasan Islam, perpustakaan sudah
menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa,
kota, di rumah sakit dan lain sebagainya. Waktu itu perpustakaan dibagi
menjadi lima bagian: Pertama, perpustakaan akademis. Kedua, pribadi.
Ketiga, umum. Keempat, sekolah. Kelima, perpustakaan masjid dan
universitas (baca: Rāghib al-Sirjāni, Mādza Qaddama al-Muslimūna li
al-`Ālam Ishāmātu al-Muslimīn fī al-Hadhārah al-Insāniyah,hal.
224-225)..
Di antara contoh perpustakaan besar dalam Islam ialah:
Perpustakaan Baghdad (yang jumlahnya sangat banyak, sampai-sampai bisa
dibuat jembatan oleh Tartar).
Perpustakaan Darul `Ilm Kairo
(Setiap bagian berisi 18000 buku) lebih dari tujuh ratus ribu kitab.
Perpustakaan Cordova (berisi setengah juta kitab) Perpustakaan Tripoli
(baca: Kaifa Tushbihu `Āliman, Raghib al-Sirjani).
Ada juga
perpustakaan koleksi pribadi. Sebagai contoh, Abu al-Fadhl bin al-`Amīd,
ketika dia mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia membutuhkan
seratus unta untuk mengangkatnya.
Al-Shahib bin `Abbād, menurut
penuturan Gustav Lobon atau Will Durent: “Perpustakaan al-Shahib bin
`Abbād, pada abad keempat hijriah berisi lebih dari buku-buku yang ada
di semua negara Eropa.
Dari paparan di atas, kita bisa mengetahu bahwa ada tiga hal mendasar di balik produktivitas ulama dalam bidang tulisan:
Pertama, keikhlasan.
Mereka menulis dalam rangka investasi akhirat, bukan mencari sekadar dunia atau sanjungan umat.
Kedua, mereka sangat pandai dalam manajemen waktu.
Ketiga, adanya apresiasi dan kontribusi negara.
Bila ketiga hal tersebut saling bersinergi, maka produktivitas ulama dalam bidang tulisan akan kembali bangkit.
Kalau diamati secara cermat, problem umat Islam sekarang ini, terkait
dengan lesuhnya produktivitas ulama dalam bidang tulisan, diakibatkan
banyaknya orang menulis bukan dalam rangka investasi akhirat, tapi
orientasi keduniaan.
Di samping itu, tidak pandai menghargai
waktu. Dan yang terpenting, negara sebagai lembaga paling strategis
dalam mengembangkan produktivitas, kurang apresiatif dalam menghargai
karya-karya penulis.
Mudah-mudahan, dengan mengetahui rahasia
produktivitas ulama dalam bidang tulisan, kita sebagai umat Islam,
kembali bisa produktiv, sehingga nilai-nilai luhur Islam bisa tersebar
ke seantero alam. Bukan saja tersebar secara lisan, namun juga tulisan.
Apalagi di era perkembangan teknologi-informasi seperti sekarang ini,
keinginan itu sangat riil, bukan mustahil. Wallahu a`lam bi al-Shawab.*
Mahmud Budi Setiawan, Lc
Penulis adalah penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014